Penerbit : Arkais Creative

Terbit : September 2024

Genre : Cerpen Drama

  


Luka Cinta Bidadari

Oleh : Surur

Amira menangis di atas batu nisan makam kedua orang tuanya tanpa sepatah kata, hanya mengirimkan doa dengan tulus dan penuh hikmat. Meluapkan rindu akan sosok mendiang ayah dan ibunya, mencoba tidak mengeluarkan sebutir pun air mata. Berharap ahli kubur tidak mengetahui gejolak hati yang sedang menerpa dirinya.

Langit semakin pekat, senja telah mengakhiri tugasnya, memberi jingga pada seisi bumi. Amira mulai melangkah gontai, perlahan meninggalkan pemakaman tua itu tanpa tahu kemana kemana harus melangkah.

***

"Dimana mamamu? jangan pura-pura sok ngga tahu segala!" bentak Ben pada Atisha putri sulungnya.

Athisa hanya menggelengkan kepala, menahan isak yang yang begitu dalam. Berkali-kali Ben menghubungi nomor istrinya, hingga amarah tak dapat terbendung. Kata-kata umpatan, makian serta kutukan tak hentinya terlontar dari mulutnya, seolah istrinya adalah mahluk kotor yang penuh hina.

"Percuma ngomong sama kamu! semuanya sama aja!" tambah Ben mengumpat kedua puterinya sembari meninggalkan rumah, membanting daun pintu hingga tembok rumah ikut bergetar. Athisa dan Fara saling berpelukan, mereka menangis meluapkan kesedihannya, bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Athisa mencoba menenangkan tangis Fara, adiknya yang masih berusia sepuluh tahun.

Sementara itu Amira masih menimang-nimang ponselnya yang tidak diaktifkan, ingin rasanya menghubungi kedua buah hatinya, sekedar memberi ketenangan pada belahan jiwanya itu, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi rasa takutnya akan Ben menciutkan nyalinya.

"Sudah kubilang jangan campuri urusanku! Urus saja urusanmu! urus rumah! didik anak-anak dengan benar!" bentak Ben, sebelum bogem keras mendarat di pipinya.

Wajah garang Ben nampaknya selalu membayangi Amira, walau bukan yang pertama, tapi kekerasan demi kekerasan yang diterima membuatnya sangat ketakutan. Semenjak dinikahi, kehidupan Amira layaknya seperti mati suri. Sikap Ben yang terlalu posesif, terlalu banyak melarang dalam segala hal, bahkan mengantarkan Fara ke sekolahpun bisa menjadi sumber pertengkaran. Jangankan pergi ke mall untuk belanja sendirian, ke minimarket menggunakan ojek pun jadi alasan tamparan di pipi. Kemanapun ia pergi harus didampingi sang suami. Karena itu perempuan cantik nan lembut itu berusaha menyesuaikan dengan yang diinginkan sang suami, berusaha menjadi istri yang baik, menuruti semua keinginannya walau hidup seperti burung di dalam sangkar.

Berhati-hati dalam bertindak agar tidak terjadi pertengkaran, setidaknya mengurangi intensitas ketegangan didalam rumah, agar bisa melihat kedua buah hatinya tumbuh dengan baik, itu sudah lebih dari cukup.

***

“Ada yang bisa dibantu bu” suara berat seorang petugas membuyarkan lamunan Amira. Ia sangat panik, tak tau harus mulai darimana.

“Hmm anu saya mau melapporkan suami saya..” ujar Amira gugup. Lelaki berseragam rapi itu pun menyimak laporannya.

“Saya sering dipukuli oleh suami saya” suara Amira terbata, menahan isak

“Boleh tahu kenapa bu?” tanya anggota polisi itu.

Sambil menangis, Amira pun menguraikan semua permasalahannya.

“Baik bu, laporan ibu sudah kami terima dan kami catat, tapi kami masih memerlukan satu lagi, yaitu bukti pemeriksaan visum dari rumah sakit, agar laporan ibu bisa lebih lengkap dan kami bisa menindak lanjuti” ujar polisi menutup menutupi pertemuan itu.

Amira pun tergesa-gesa keluar dari kantor polisi, berharap tak seorang pun mengetahui kederadaannya. Langkahnya yang panjang segera menuju rumahsakit yang tak jauh dari kantor kepolisian. Hingga giliran nomor urutnya dipanggil, ia malah memilih pergi keluar dari gedung itu. berlari kecil, menyembunyikan wajahnya, menyeka air mata yang terus berlinang. Tidak meneruskan niatnya untuk melakukan visum atas memar di wajah dan beberapa bagian tubuhnya. Yang terbayang olehnya hanya wajah kedua putrinya. Ia mengurungkan niatnya di visum hanya karena tidak ingin anak-anaknya dicap sebagai anak dari seorang narapidana, karena sebagai seorang awam, sebenarnya ia sangat takut berurusan dengan polisi.

Dengan gontai ia menuju ke sebuah tempat yang sangat terpencil, dengan wajah yang masih ditutupi dengan ujung kerudung jingganya. Ia menangis, sempat menyesali perbuatan yang telah dilakukannya beberpa hari lalu. Ketika menanyakan seorang perempuan bernama Rania pada Ben, suaminya. Rania yang selalu menelpon Ben setiap waktu, mengirim pesan dengan kata-kata romantis, Bahkan berkali-kali ia memergoki suaminya bolos kerja demi menemui Wanita selingkuhannya itu. Berhari-hari ia memendam semuanya, hingga keresahan sudah memuncak, menanyakan perihal perempuan itu pada Ben. Bukannya jawaban yang ia dapatkan, melainkan pukulan keras dari suaminya. Kemarahan Amira pun memuncak, tidak terima selalu diperlakukan seperti itu. Ia memberontak, mencoba melawan sebisa mungkin, dan berteriak sekuat tenaga melampiaskan kekesalan yang selama ini dipendamnya. Bagitu pula dengan Ben, yang tak menyangka istrinya akan melawan dan berteriak merajalela, lelaki tinggi kekar itu memperlakukan istrinya layaknya seorang penjahat, mereka seperti kerasukan setan.

“Maa.. mama.. lari mama.. lari…!” teriak Athisa dan Fara, menangis. Amira pun berlari keluar rumah, meninggalkan pecahan-pecahan piring dan gelas yang berserakan, juga meja kursi ruang tamu yang berantakan. Dengan berat hati ia meninggalkan kedua gadis kecilnya yang menangis bersembunyi di sudut ruang. Wajah kedua putrinya selalu membayangi, ingin sekali membawa keduanya pergi, tapi ia takut pelariannya kali ini akan gagal, ia sangat takut  jika Ben kembali menemukannya.

***

Bim,! Bim! bim..!

 

"Dimana Amira?!" suara Ben Lantang menghampiri seseorang. Rony hanya mengerutkan dahinya, enggan meladeni orang yang tiba-tiba mencegat kendaraannya di jalanan umum.

"Jangan pura-pura tidak mendengar!" Ben menambahi pertanyaannya.

Sementara Rony masih berusaha keras menebak maksud pertanyaan Ben.

"Sudah beberapa hari ini Amira tidak pulang, kamu simpan dimana?" cecar Ben. Wajah Ronny memerah, mendengar pertanyataan Ben yang telah menelantarkan perempuan yang pernah dicintainya.

"Saya sudah pernah bilang padamu, untuk menjaga Amira dengan baik, sekarang kamu malah menuduh saya membawa kabur istrimu?" Tegas Ronny menahan amarah, keluar dari mobilnya.

"Saya tidak sebejat yang kamu kira Ben" tambah Ronny menimpali.

Ben bertambah kesal. "Dia mengamuk sejadi-jadinya" timpal Ben menunjukkan beberapa luka cakaran di tangannya.

Ronny tak begitu mempedulikan aduan rivalnya itu.

"Saya bisa masukkan kamu ke dalam penjara dengan mudah" ancam Ronny berlalu pergi meninggalkan Ben, maneruskan perjalanannya.

"Arghh!" Teriak Ben setelah Ronny pergi meninggalkannya.

"Lihat saja siapa yang akan masuk dalam penjara" Ben menghujam lirih. Lalu ia kembali melaju pulang ke rumahnya yang yang tampak seperti sarang burung, berantakan tak terurus. Lelaki berkulit coklat tua itu mulai merasa kehilangan sosok Amira, sesekali tak bisa membendung tangisnya, ketika wajah teduh istrinya melintas dalam benaknya.

"Ayah, badan Fara panas dan menggigil" ujar Athisa panik.

Dengan segera Ben membawa anak bungsunya ke rumahsakit. Pikirannya semakin galau, putus asa dengan keadaan yang sedang dihadapinya.

***

“Saya tahu kamu akan kemari, tempat pertama kita berjumpa dan berjanji untuk…”

"Sudahlah, bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu. kamu sudah jadi masa laluku Ron…” Amira menahan isak dengan air mata yang berlinang.

“Aku kemari hanya ingin menenangkan diri"

"Aku mengerti yang sedang kamu rasakan Mir, kamu ngga akan kemari jika kamu baik-baik saja” ujar Ronny lirih.

“Kamu ngga perlu banyak bicara, kamu diam pun, aku sudah sangat mengerti isi hatimu” Tambah lelaki bermata lembut itu.

“Ngga Ron, kamu ngga pernah mengerti aku” suara Amira gemetar. Ronny menunduk, tak berani menatap wajah perempuan yang pernah sangat disayanginya itu.

“Kamu tidak lebih dari seorang pengecut!” Amira menambahi dengan suara yang semakin pelan, menghilang.

“Maafkan aku Amira, “

“Pergilah Ron, pulanglah.. kasian anak istrimu, jangan libatkan mereka dalam masalahku. Aku ngga mau dihina orangtuamu lagi, cukuplah mereka tak merestui hubungan kita dulu. Siapalah aku Ron, anak yatim piatu yang tidak punya apa-apa”

“Kamu jangan bicara seperti itu Mir, andai kamu tau keadaan kala itu”

“Cukup Ron, semua itu sudah aku kubur dalam-dalam, aku tidak mau mengungkitnya lagi”

“Iya, Mir, tapi kamu harus berbuat sesuatu agar suamimu jera”

“Jangan urusi kehidupanku Ron” pinta Amira,

“Entah aku salah memilih, atau memang keadaan yang merubah segalanya. Aku akui, cinta matiku hanya untuk kamu Ronny, tapi apalah arti cinta tanpa hadirnya restu di dalamnya. Tahu kah kamu Ron, rasanya waktu begitu lama sekali untuk aku bisa menerima kenyataan itu, berdamai dengan diri sendiri, itu tidak mudah. Hingga Ben hadir dalam hidupku, berhasil mengusir kesepianku, berhasil menghidupkan hatiku yang mati karenamu”

“I..iy..iya tapi..”

“Pergi..!” tambahnya meminta.

Ronny pun perlahan beranjak meninggalkan Amira, keinginnanya untuk membantu tak disambut baik oleh sang mantan. Langkahnya pun gontai menjauh dari tepi danau yang sepi itu, tempat dimana mereka berdua pertama kali bertemu dulu.

Amira kembali menangis tanpa suara, air matanya mengalir deras membasahi pipi. Berpura-pura tegar di depan orang yang sangat dia citai hingga saat ini. Ia terpaksa mencampakkan Ronny, walau hati kecilnya ingin merindu pelukan lelaki berambut ikal itu. mendapatkan ketentraman dari orang yang sangat dicintainya.

“Tuhan, maafkan aku masih menyimpan rasa yang sama, bantulah aku untuk bisa menghilangkan rasa ini. Karena semakin ku coba melupakannya, maka semakin sakit pula hati ini” gumam Amira lirih, menarik nafasnya dalam, mencoba menepis perasaanya itu, kembali menghadapi kenyataan menjadi seorang perempuan yang tetap berusaha menjaga Marwahnya sebagai seorang istri dan ibu yang baik.   

***

“Kamu dimana nak? Mengapa kamu tidak terlihat di sekolah?” gumam Amira dalam hati, mengamati sekolahan Athisa dari jauh. Amira memberanikan bertanya pada salah satu murid sekolah yang lewat di depannya.

“Dari minggu kemarin Athisa tidak masuk sekolah, karena adiknya masuk rumah sakit” jawab salah satu dari mereka.

Jantung Amira berdebar kencang tak beraturan. Wajahnya memucat, mendengar kabar putrinya sakit. Hari demi hari dilewati sendiri dalam pelarian, dengan diliputi kegundahan bersembunyi disebuah panti asuhan yang ia temui dalam pelariannya. Uluran tangan serta bantuan Tuhan melalui istri pemilik panti asuhan yang terus mengayomi, memberi siraman rohani hingga semakin menguatkan keimanannya. Walau setiap malam selalu menangis merindukan kedua putrinya. Terlebih mendengar sang bungsu yang sedang tergeletak dirumah sakit.

Sementara itu Ben masih sibuk kesana kemari sibuk menemui teman dan kerabat Amira lainnya. Satu persatu didatangi, mencari keberadaan istri tercintanya, hingga wajahnya lusuh tak terawat. Bahkan tak dipedulikannya keadaan putri bungsunya yang terbaring di rumah sakit. Sifat posesifnya pada Amira membuatnya seperti orang gila. Tak jarang Ben menangis sendiri, berteriak meluapkan penyesalan atas perlakuannya pada sang istri selama ini. Pola hidupnya berantakan, Bahkan ia dikeluarkan dari tempat kerjanya karena waktu dan tenaganya terkuras habis demi mencari sang istri.

***

Malam semakin gelap dan pekat, bintang dan bulan turut memberi bias cahayanya setelah beberapa hari tertutup awan gelap. Seolah memeberi asa pada dua gadis yang sedang meratapi nasib dicampakkan orang tuanya. Kondisi Fara sudah membaik, esok hari sudah bisa pulang ke rumah. Tapi mereka lebih nyaman di rumah sakit daripada di rumahnya yang masih tidak kondusif. Hanya doa yang terus dipanjatkan atas permasalahan yang sedang menimpa mereka.

Sayup-sayup terdengar suara Langkah yang begitu lambat, seperti seorang maling yang sedang mengintai barang curiannya. Tidak lama kemudian terdengar suara dau pintu terbuka dengan perlahan.

“A..tish..a..” suara berbisik dari balik daun pintu kamar ruang perawatan

“Ma..”

“sstttt”

Amira mendekap erat anak sulungnya, menciuminya penuh rindu. Athisa tak kuasa menahan haru, badannya malah lunglai, seolah tak percaya ibu tercintanya kembali.

“Fara baru saja tertidur” ucap Athisa lirih. tapi Amira tidak mempedulikannya, dipeluknya sang bungsu begitu erat, dicium dan dibelainya penuh sayang.

“Ayah jarang sekali kemari ma,” ujar Athisa

Amira hanya mengangguk, masih tak sanggup berucap. Menyembunyian air mata agar tak terlihat rapuh di depan kedua buah hatinya.

Matahari mulai meninggi, ketiga perempuan itu melangkahkan kaki menuju kediamannya kembali. Berjuta rasa bercampur menjadi satu, riuh isi kepala masih enggan mereda. Berbagai jawaban yang telah diperiapkan mendadak hilang begitu saja. Langkah kaki Amira gemetar, sangat ketakutan dengan keputusannya untuk kembali ke rumah. Dia siap menerima apapun yang akan Ben lakukan padanya. Dengan bermodal niat yang kuat, Amira akhirnya diberi keberanian untuk kembali. Mencoba memaafkan, menyadari dan memperbaiki kesalahan.

“Tuhan, aku bukanlah siapa-siapa, aku rela dicap sebagai manusia paling bodoh di dunia ini, karena memutuskan untuk kembali. Bukan aku yang kembali ke rumah, tapi aku lah rumah itu. Aku harus menjadi rumah yang menentramkan bagi penghuninya. Yang memberi kedamaian dan mengendalikan semua yang ada di dalamnya. Aku lah rumah yang bisa memberi tenang, menjadi perantara cahaya ilmu, Pelajaran, nasihat, teladan, dan guru yang baik. Karena bagaimanapun tanggung jawab itu sebagian ada pada diriku. Biarlah aku mencoba sekali lagi untuk memperbaiki semua kerusakan ini, biar rumah ini memberi arahan pada penghuninya semampu ku bisa. Suamiku hanyalah manusia biasa. Sama halnya sepertiku. Sebagai manusia, aku tidak berhak untuk menghakiminya, hanya berupaya untuk bisa memberi sedikit cahaya agar bisa bersama-sama melihat jalan yang seharusnya dilewati. Aku yakin, jika aku bisa menjadi rumah yang baik, maka akan baik pula seisinya, maka ridhoi lah keputusanku” doa Amira sebelum memutuskan untuk kembali.

Rumah begitu sepi, bunga-bunga dipekarangan layu Bahkan beberapa telah mati. Barang-barang berserakan dimana-mana. Mereka bertiga saling berpegangan tangan erat. Menanti Ben terbangun dari lelapnya. Hingga lelaki itu terperanjat, kaget melihat sosok yang dicari berada didepan matanya.

“Amira… kamu kah itu?!” Ben tersungkur ke lantai, tergopoh memeluk erat kaki sang istri.

“Jangan pergi lagi.. aku mohon maafkan aku..” pintanya bersimpuh.

“Aku tidak bisa hidup tanpa kamu..aku berjanji akan menjadi suami yang baik, Bahkan lebih baik lagi, aku siap menjadi ayah yang baik untuk anak-anak” tambahnya lagi.

Mereka berempat menangis bahagia, saling berpelukan.

 

Kring! Kring! Kring! suara notifikasi pesan singkat ponsel Ben berbunyi.

Sayang, apa kabar? Kamu kemana saja sih? Kok ngga pernah menghubungi aku lagi…” RANIA.

 

 

 

 

 

Aryanti, Karena Aku Memilihmu

Langit masih saja hening, Entah kapan aku mulai menyukainya. Menatap gelapnya, memperhatikan bentuk bulan dari malam ke malam, menyaksikan dedaunan dan ranting yang berjatuhan ke tanah, membolak-balikkan beberapa carik kertas yang berserakan, kulipat, kubaca lagi, lalu sesekali kukecup mesra. Sembari ditemani bias cahaya bintang serta kicauan jangkrik seolah ada yang ingin disampaikan padaku, juga secangkir kopi yang mulai berani kuminum kembali.

Lembar pertama

Aku sudah terbiasa hidup susah, walau kata itu sungguh tak pantas aku ucapkan, karena susah bagiku adalah sebuah pilihan. Sama halnya ketika akhirnya aku memilih kamu menjadi pasangan hidup. Kamu masih ingat keadaan kala itu? bahkan kamu merasa sangat cemburu karena banyak lelaki tampan dan kaya raya yang mendatangi orang tuaku, betapa bijaknya Ayah dan Ibu, menolak niat baik mereka tanpa satu pun yang merasa tersakiti. Jujur, aku akui, aku pernah menaruh rasa yang sama pada salah satu dari mereka, tapi rasa itu tidak sebesar dan seyakin perasaanku padamu.

"Kamu sudah mantap dengan pilihanmu Ti?" Tanya ibu kala itu. Aku mengangguk penuh keyakinan. Aku bukan siapa-siapa, orang tuaku pun bukan siapa-siapa, walau kebanyakan keluarga jawa lebih mengedepankan bibit bebet dan bobot, tapi lain halnya dengan Ayah dan Ibu. Mereka punya keyakinan, kalau setiap orang pasti membawa rezekinya masing-masing, siapapun dan dari manapun latar belakangnya, bahkan mereka tidak pernah menanyakan apa pekerjaanmu, dan berapa penghasilanmu, karena mereka yakin kamu membawa sesuatu yang jauh lebih berharga dari semua itu, yaitu rasa cinta dan sayangmu untuk aku, anak kesayangannya, dan itu jauh lebih bernilai.

Bunga-bunga asmara itu merekah indah menghiasi hari-hariku yang baru menginjak  usia dua puluh tahun. Masih saja teringat dimana ketika pertama kali kita berjumpa, kamu membeli hampir separuh dagangan kue yang aku pikul dari pagi hingga menjelang sore. Kamu dan beberapa tukang becak lainnya mengeribungiku, ketika aku keluar dari gerbang komplek mewah tempat mangkal becak-becak. Ibu pikir berjualan kue tradisional ditempat elit akan laris manis, tapi malah sebaliknya, tak satu pun kue itu dibeli, mungkin mereka lebih memilih burger ketimbang kue cucur atau nagasari. Tapi karena itu pula Tuhan mempertemukan kita. Entah karena rasa gengsimu terhadap teman-teman yang lain, sehingga kamu mampu memborong kue daganganku itu, atau memang kamu suka makanan tradisional? Yang jelas setelah itu kita jadi sering bertemu, bahkan tanpa malu kamu antarkan aku pulang mengggunakan becakmu.

“Ini Sambudi Bu” ketika pertama kalinya ku perkenalkan pada ibu. Dia menyambut uluran tanganmu dengan senyum manisnya. Setelah kamu keluar rumah, ibu menarikku masuk ke dalam kamar, sedikit tak percaya, kalau aku berani memperkenalkan seorang tukang becak padanya. Untung hati ibu bak bidadari, atau mungkin dia berusaha keras menutupi perasaan yang sebenernya ada dalam hati. Hingga janji suci berhasil kau ucapkan di hari sakral pernikahan kita.   

Lembar kedua

Masih jelas dalam ingatanku, ketika pertama kali kamu bekerja menggunakan helm proyek, kamu sungguh mengagumkan, walau sempat kamu merasa sedih, karena harus berpisah dengan Caki, becak kesayangan yang telah menemanimu mengais rezeki, menghabiskan masa bujangmu bersamanya. Kendaraan roda tiga itu terpaksa kamu relakan dikayuh oleh orang lain, bahkan kamu tidak sampai hati menjualnya. Bertahun-tahun kamu bersahabat dengan jalanan, mewarisi pekerjaan almarhum ayahmu, menanggalkan seragam putih biru dan lebih memilih mengayuh becak tua itu.

Kemudain kamu mulai sibuk dengan pekerjaan lapangan, sebagai buruh lepas yang pastinya sangat melelahkan. Banting tulang dari fajar menyingsing hingga larut malam. Bertahun tahun tenaga dan waktumu dihabiskan untuk itu. Demi membuktikan pada semua, kalau kamu bisa membahagiakan aku, dengan bekerja keras dan bertanggug jawab terhadap keluargamu. Betapa beruntungnya aku, mendapatkan seorang suami sepertimu.

Dengan restu darimu, walau berat hati, cincin mas kawin itu aku gadaikan, kugunakan untuk modal dagang sayuran di depan rumah kontrakan. Hingga perlahan semakin berkembang bahkan bisa merambah ke toko sembako. Tapi apalah daya, kita pun harus terusir dari rumah kontrakan itu, karena mereka tidak suka rumahnya ramai dikunjungi pelangganku. Aku menangis sejadi jadinya kala itu, kesal, sedih, benci bercampur manjadi satu, seolah Tuhan telah berlaku tak adil.

Kamu beranikan diri mengajukan kasbon ke pak mandor untuk membeli sepetak tanah, yang kemudian berhasil kita bangun sebidang rumah kecil nan sederhana, itu pun kamu sendiri yang mengerjakannya, dengan dibantu seorang kenek, kamu menggunakan kemampuanmu sebagai petukang dalam membangunnya. Hingga gubuk sederhana itu tertutup genting. Kita pun menempatinya dalam keadaan belum jadi sepenuhnya, gelap, banyak sekali nyamuk, dan kaki ini tak lepas dari sandal, karena lantainya masih tanah. Dan yang paling menguji imanku kala itu adalah, ketika kamu harus pulang kerja lewat tengah malam, dimana hanya berteman suara jangkrik, kodok dan juga suara burung gagak yang mondar mandir diatas rumah. Rumah kita jauh dari tetangga, banyak yang bilang kita terlalu berani mendirikan rumah ditengah ladang dan berdekatan dengan kuburan. Tapi keadaan itu pula yang membuat iman kita semakin tebal dan mampu menjadi tular lainnya untuk mau menjadi tetangga baru kami. Hingga aku bisa melanjutkan hobiku yaitu membuka warung sayur dan sembako lagi.

Lembar ketiga

Hari berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun. Anak-anak kita telah tumbuh menjadi remaja, dengan keadaan yang jauh lebih baik daripada masa kita tumbuh dulu. Mereka pun mengenyam pendidikan di sekolah favorit, tidak seperti kita yang hanya kenal sedikit baca dan tulis. Semua itu berkat kerja keras kita yang tak mengenal lelah. Kamu rela makan sehari hanya dua kali, menggunakan pakaian seadanya, dan penghematan-penghematan lain yang kita coba terapkan dalam keseharian, semua gaji bulananmu aku tabung, dan penghasilan warung kita gunakan uuntuk keperluan sehari-hari seadanya. Semua itu karena kita ingin anak kita bisa mengenyam pendidikan tinggi. Dan kamu tidak pernah protes sedikitpun.

 Jujur aku sangat bangga padamu, walau penghasilan kita pas-pasan, tapi kita bisa merancang masa depan anak-anak agar kelak mereka bisa jadi orang besar. Bahkan putri sulung kita sebentar lagi melahirkan anak keduanya, artinya kita sudah tidak muda lagi. Betapa cepatnya waktu berlalu, belum lama menyandang gelar sarjana, dia dilamar seorang pemuda yang baik, akupun berusaha menjadi sosok seperti ibuku, yang mementingkan kebahagiaan anaknya daripada mengedepankan ego semata. Dan anak gadis kedua kita akan melangsungkan pernikahannya beberapa bulan kedepan, sedangkan kedua putra kita masih anteng duduk di bangku sekolahnya.

Lembar ketiga

Aku menyesal, karena dulu pernah menganggap Tuhan telah berlaku tidak adil, padahal Dia lebih tau jalan hidup kita yang terbaik menurutnya. Betapa syukurnya aku telah melewati masa-masa sulit itu bersamamu. Kini semuanya berjalan dengan baik, warung kecilku telah berkembang menjadi toko yang selalu ramai pelanggan, sedangkan kamu masih enggan mengurangi jam kerjamu. Kamu masih sering pulang tengah malam, kamu bilang pekerjaan di pabrik sedang sangat sibuk, lalu dipagi harinya kamu kembali mengangkat benda-benda berat itu hingga larut malam lagi. Kamu memang pekerja keras.

Hingga subuh itu, ketika aku memintamu untuk mengantarkanku ke pasar, belanja kebutuhan toko, aku menjerit histeris. Badan kamu kaku tak dapat bergerak, Bahkan kamu tak bisa berbicara sedikitpun, matamu memutih semua. Aku berteriak dengan lantang, berharap seseorang datang menolongmu. Hingga kamu berhasil kami bawa ke rumah sakit terdekat. Dokter bilang kamu terkena stroke. Kami semua menangis, melihat keadaanmu yang tiba-tiba saja sakit tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Atau mungkin kamu sudah merasakan tanda-tandanya? Tapi kamu menyembunyikannya pada kami. Pikirku mungkin karena kamu terlalu lelah bekerja, dengan pekerjaan beratmu di proyek. Tapi sudahlah, lebih baik kami fokus pada proses penyembuhanmu.

            Beberapa miggu aktifitas kami terhenti, karena kami harus mondar-mandir ke rumah sakit, memastikan perkembangan kesehatanmu. Hingga kamu diijinkan untuk dirawat di rumah. Jujur kala itu uang tabungan semakin menipis, memang biaya rumah sakit masih di tanggung oleh Perusahaan tempatmu bekerja, tapi operasional lainnya juga menguras dana. Apalagi keadaan warung, semenjak kamu di rumah sakit, warung kami tutup total. Semenjak itu aku harus lebih ekstra lagi menjemput rezeki. Sembari mengurus kamu dirumah, aku juga sibuk belanja ke pasar, melayani para pelanggan, memasak makanan untuk anak-anak, dan juga membereskan seisi rumah. Berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan aku melakukan kesibukan yang sama setiap harinya. Demi kamu, demi anak-anak aku ikhlas melakukannya.

Lembar keempat

Keadaanmu sudah lebih baik dari sebelumnya, dengan terbata kamu sudah mulai bisa bicara, dengan susah payah kamu juga sedikit demi sedikit sudah bisa menggerakkan tanganmu. Orang-orang menyarankanku untuk membawamu terapi. Kamu tahukan, kalau biaya pengobatan di rumah sakit sangatlah mahal. Karenanya aku turuti saran orang-orang untuk membawamu terapi alternatif ke sebuah klinik yang sudah ternama setiap pekannya. Ya, aku harus rajin membawamu terapi, berikhtiar agar kamu kembali pulih.

Oh iya, maafkan aku, karena aku masih belum memberitahumu. Beberapa hari yang lalu, atasanmu datang ke rumah, memberikan uang pesangon dan bantuan pengobatan dari perusahaan. Betapa hancurnya rasa ini, ketika dia bilang kalau kamu dikeluarkan dari tempatmu bekerja, dengan alasan demi kebaikan bersama. Jujur aku sedih, bukan karena kamu dikeluarkan dari tempat kerja, melainkan sedih melihat keadaanmu yang sudah banting tulang siang malam tak kenal waktu bekerja, Bahkan kamu sakit seperti ini pun mungkin karena terlalu keras bekerja, tapi setelah kamu tak berdaya, kamu malah dikeluarkan. Ah sudahlah, mungkin ini yang terbaik untuk semua. Yang jelas, aku harus bangkit dan berusaha semampuku untuk agar kamu sembuh kembali.

Lembar kelima

Bulan berganti bulan, keadaanmu sudah lebih baik, bahkan kamu sudah bisa menolak ketika aku ajak untuk terapi. Katamu kamu sudah bisa melakukannya sendiri. kamu duduk dikursi roda, berjemur di hangatnya mentari pagi, menatapku yang Tengah sibuk di toko. Aku bangga padamu.

“kamu tambah kurus Ti,” ujarmu. Aku memang tambah kurus, dan sudah tak kupedulikan lagi keadaanku. Yang terpenting adalah bisa merawatmu dengan baik, mengurus anak-anak dengan baik, dan menjalankan toko yang mulai kembang kempis. Bagaimana tidak hampir disetiap gang ada toko baru yang serupa dengan tokoku ini. Aku harus memutar otakku agar dapur tetap ngebul.

“Maafkan aku ya Ti, harusnya aku yang pontang panting mengais rezeki” katamu setiap kali melihatku meyeka keringat.

Aku berupaya menenangkanmu, agar lebih fokus pada proses penyembuhan, bukan malah berfikir yang macam-macam. Aku tahu sebagai lelaki dan keala keluarga kamu pasti merasa bersalah karena tidak produktif, kamu sering mengutuk dirimu sendiri, berkata jelek akan Nasib yang menimpamu. Seolah Tuhan tidak adil. Berkali-kali pula aku kembali mengingatkanmu untuk beristighfar, berfikir positif terhadap keadaan dan tetap bersyukur, karena dengan bersyukur maka akan ditambah nikmat dari-Nya.

Dengan keadaan toko yang sedang lesu, akhirnya aku menemukan peluang pintu rezeki lainnya. Pak Ramon, bos toko elektronik dan mebel di pasar menawarkan bisnis baru untukku. Tawaran itupun aku sambut dengan baik. Selain toko sembako dan sayur mayur, aku juga mulai aktif menjual barang-barang keperluan rumah lainnya, seperti kulkas, televisi, lemari, sofa, ranjang, bahkan telepon genggam. Hingga bisnis baruku itu jauh lebih berkembang daripada sembako dan sayur mayur. Aku sangat senang dan bersemangat menjalankan usaha baruku yang otomatis sedikit mengganggu waktuku dirumah. Karena aku harus lebih sering keluar rumah mendatangi konsumen, memastikan pengiriman, dan banyak aktifitas lain yang memakan waktu. Hingganya aku sadari aku sudah jarang punya waktu khusus untuk kamu di rumah. Maafkan aku, itu semua demi terpenuhinya kebutuhan kita.

Lembar keenam

Aku tidak menyangka kamu semarah itu padaku. Kamu membentak-bentak aku didepan anak-anak, seolah aku tidak punya harga diri. Kamu membuang semua hidangan makan yang sudah aku siapkan untukmu. Bahkan kamu menangis diatas kursi roda itu. Sungguh aku tidak mengerti. Kamu kembali mengutuk dirimu sendiri, mengutuk sakit yang masih dideritamu, mengutuk keadaan, sehingga kamu tidak bisa berbuat apa-apa, kamu yang seharusnya bekerja untuk keluarga, bukan malah duduk di kursi roda dan hanya menerima belas kasihan. Lalu kamu mulai menyebut namaku, kamu bilang aku tak tahu diri, kamu bilang aku perempuan genit yang sedang birahi, dan perkataan lain yang tak pantas diucapkan. Kemudian kamu kaitkan semuanya dengan pak Ramon, bahkan yang lebih membuatku bersedih ketika kamu menuduh aku telah berselingkuh dengan pak Ramon. Betapa hancurnya hatiku. Padahal aku membanting tulang, memutar otak tidak lain karena rasa sayangku padamu, pada anak-anak kita, pada keberlangsungan hidup kita. Tidak pernah terlintas sedikitpun untuk melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya.

Memang aku akui, aku terlalu banyak menghabiskan waktu diluar, sering menghunbungi pak Ramon, itu karena keperluan usaha yang sedang aku rintis. Kamu bilang aku sudah tidak mencintaimu lagi. Jika memang seperti itu, aku sudah menyerah dan keluar dari rumah ketika kamu tidak berdaya karena sakit dan tidak mampu memberi nafkah. Tapi itu tidak aku lakukan, karena aku masih mencintaimu, kamu suamiku, karena aku memilihmu. Sampai kapanpun aku akan bersamamu.

Semenjak saat itu tubuhku terasa lunglai, remuk tak berdaya. Hatiku hancur dan tak punya gairah. Kepalaku terasa berat, sakit. Jantung ini berdebar kencang, dan tiba-tiba saja mataku gelap. Hingga samar-samar kulihat wajah anak-anakku sedang mengelilingiku, menangis.

“Operasinya dijadwalkan besok” samar-samar terdengar suara seorang dokter.

***

Maafkan aku Ti, aku sangat menyesal. Andai saja saat itu aku tidak cemburu padamu, mungkin kamu masih hidup, duduk bersanding bersamaku. Menikmati secangkir kopi, menyaksikan sinar bulan purnama bersama. Sekali lagi maafkan aku Aryanti.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Payung Hukum Cinta

Pagi itu, ketika hujan rintik-rintik masih membasahi tanah, setelah semalaman mengguyur dengan derasnya Artika terlambat datang ke pabrik. Badannya basah, mencoba menyekanya dengan handuk kecil yang sengaja diselipkan di dalam tas. Membuka ikatan kucir kuda pada ramburnya. Membiarkannya tergerai menutupi bahu. Perempuan berbadan kurus itu sudah pasrah akan omelan yang akan diterimanya. Baginya, mata, telinga, bahkan hatinya sudah tertutup rapat semenjak gosip tentang dirinya berkembang. Ia berusaha menutupinya, sebelum isu itu berhasil dibuktikannya.

Sudah belasan tahun Artika menjadi karyawan disebuah pabrik boneka. Tepatnya setelah menikah dengan Lori, pemuda berwajah tampan yang sangat dicintainya. Butuh penyesuaian yang sangat panjang bagi dirinya untuk bisa menjadi seorang pekerja, yang harus bangun lebih pagi, lalu segera bergegas menjalankan tugasnya sebagai istri dan juga seorang ibu dari kedua putri yang mulai remaja.

Desas desus mengenai kehidupan pribadinya semakin santer terdengar ditelinga. Awalnya ia hanya menganggap itu hanyalah ulah sebagian orang yang tidak suka dengan keharmonisan keluarganya, tidak suka dengan prestasi yang di raih kedua putrinya di sekolah, atau isu yang sengaja di munculkan menjelang promosi di tempat ia bekerja. Hingga seiring waktu berjalan, hatinya mulai terusik, pertahanan batinnya melemah, dan mulai mempercayai isu yang beredar tersebut. Artika pun mulai mencoba mencari kebenarannya.

Detak jantungnya berdebar kencang, mendengar ponsel sang suami berdering, foto profil  seorang perempuan cantik berambut coklat terang menggunakan pakaian crop top merah muncul dilayar.

"Perempuan itu lagi?!" Gumamnya dalam hati, melihat nama Mirna menghubungi suaminya berkali-kali. Padahal bukan pertama kalinya nama itu menghubungi sang suami, tapi rupanya cinta dan rasa percayanya yang begitu tinggi pada Lori  membuat Artika tidak menaruh rasa curiga atau berfikir macam-macam tentang suaminya itu. Bola matanya masih mengawasi pintu kamar mandi, berharap sang suami tidak mendengar dering ponsel miliknya. Sudah kesekian kali dering itu berbunyi, tak sekalipun benda pipih itu diangkatnya.  Tangan Artika malah gemetar, mencoba membuka kode yang mengunci benda pipih itu, dan dicatatnya nomor yang bersangkutan di secarik kertas.

"Sayaang, tolong ambilkan handuk ya, tadi aku lupa membawanya.." teriak Lori dari dalam kamar mandi, mengagetkannya.

"Oh iya," Artika pun terperanjat, memenuhi permintaan sang suami.

Nut..nutt.. nutt

Artika mencoba menghubungi nomor dengan foto profil perempuan berambut pirang itu penuh kecemasan. Tapi nomor yang dituju itu masih tidak merespon panggilan darinya.

"Halo" suaranya yang lembut akhirnya terdengar di telinga Artika

"Halo,."

"Maaf ini dengan siapa ya?" Tanya perempuan dengan foto profil berbaju merah itu

"Benar ini Mirna?"

"Iya benar, maaf ini siapa ya?" Mirna balas bertanya.

"Ada hubungan apa kamu dengan suami saya?" Tanya Artika terbata

Mirna pun terdiam, hening beberapa saat. Lalu terputus begitu saja.

Rasa penasaran Artika mulai timbul, ia berusaha mencari foto serupa dari sosial media sang suami. Mirna Puspasari rupanya pernah berkomentar dalam sebuah postingan Lori. Artika tampak serius menyusuri profil Mirna, hingga menemukan tempat yang dianggap sebagai alamat perempuan itu.

***

"Kamu tega sekali mas" ucap Artika lirih.

Lori terdiam seribu bahasa, wajahnya memerah, mencoba berpaling, tidak berani menatap istrinya, melempar pandangannya keluar jendela kamar.

"Aku ngga tau jalan pikiranmu" sang istri menambahi.

“Kenapa kamu nggak pernah ngomong ke aku, kenapa kamu..” Artika m.enangis tersedu.

"Aku memang sudah tua, jelek, keriput dan juga tidak menarik, tapi.."

"Bu..bu..bukan begitu Tika.." sela Lori, tidak tahu harus berkata apa.

Lelaki berkumis tipis itu seperti sudah memperhitungkan resiko yang akan diterima bila sang istri mengetahui kelakuannya.

"Kamu tidak perlu menjelaskan apapun mas, dia sudah menceritakan semuanya" ujar Artika lirih, menahan isak.

Perempuan mana yang rela dibagi cintanya dengan perempuan lain, apalagi itu tanpa sepengetahuannya. Sakit yang begitu dalam membuatnya lupa cara menangis, masih bisa berdiri tegap saja itu sudah luar biasa, berupaya menutupi gejolak yang sedang dirasakannya, ibu dari dua anak itu tetap menjalani hari demi hari seperti biasa, bersikap layaknya tidak terjadi apa-apa di depan kedua putrinya. Tidak mau anaknya menjadi korban atas ulah orang tuanya.

Harga dirinya sebagai perempuan hancur, selain cinta, ia merasa sudah tidak dihargai dan dianggap keberadaannya. Berjuta pikiran jelek tentang dirinya berhasil menguasai, rendah diri, hina, tak punya arti, tidak punya daya tarik lagi, perempuan yang hambar dan jutaan pikiran kotor lain tentang dirinya sendiri semakin membuat mentalnya terguncang.

"Mama ngga kerja?" Tanya si sulung. Artika hanya menggelengkan kepala.

"Mama sakit?" Tambah putri bungsunya mengejar.

"Ngga apa-apa, mama hanya ingin istirahat sejenak, mama capek" jawab Artika spontan.

"Ada yang bisa dibantu ma?"

"Ngga mba, mba pergi saja kuliah, mama tidur siang juga nanti sehat lagi" ujar sang Ibu.

"Yaudah kalau gitu, ade pulang sekolah ngga jadi main ke rumah teman deh, ade mau langsung pulang aja, mau bantu mama di rumah" ujar si bungsu lembut.

"Makasih ya de, lekas habiskan sarapannya, biar ga telat ke sekolah".

Artika masih belum siap bertemu dengan banyak orang, setelah fakta akan isu yang selama ini berkembang tentang dirinya yang dimadu berhasil adalah sebuah fakta, hal tersebut semakin membuatnya berkecil hati. Tidak berani bertemu dengan siapapun, terlebih rekan kerjanya. Padahal sudah belasan tahun ia bekerja di pabrik boneka tersebut, membantu perekonomian sang kepala keluarga, agar anak-anaknya bisa lanjut sekolah, bahkan ke jenjang yang lebih tinggi. Membantu memenuhi kebutuhan rumah. Tapi Lori telah tega menghianati perempuan yang berjuang mati-matian untuknya, membagi cintanya pada seorang perempuan muda yang ditemuinya di sebuah kantin tempat ia bekerja.

Artika menangis sejadi-jadinya, meluapkan kesedihan yang menimpa, sendirian. Meratapi nasib akan pilihan hidup. Ingin rasanya menghubungi ayah dan ibunya, sekedar menyapa, berharap senyum hangat mereka bisa menguatkannya.

"Ayah, ibu maafkan tika.." ujarnya berlinang air mata seolah menyesali keputusannya dulu keluar dari rumah demi cinta butanya pada Lori.

"Andai saja aku dulu mendengarkan kalian" tambahnya, menangisi masa lalu di pojokan kamar.

Hubungan asmara Artika dan Lori tidak mendapat restu orang tuanya. Selain masih terlalu muda untuk menikah, Lori yang beraal dari keluarga sederhana menjadi alasan kedua orang tuanya tidak merestui hubungan mereka. Artika mengabaikan larangan mereka, dan tetap memaksakan diri melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan, walau dengan berat hati, akhirnya ayah dan ibu Artika pun mengijinkannya. Setelah menikah, Artika dan Lori tinggal diluar kota, jauh dari keluarga mereka.

Lori bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik di kota itu. Mereka berusaha membuktikan pada keluarganya kalau mereka hidup bahagia walau sederhana dan penuh keterbatasan. Karena itu Artikapun mencoba untuk mencari pekerjaan di sana, guna membantu perekonomian mereka.

Artika berasal dari keluarga kaya, gaya hidupnya serba ada dan berkecukupan, tapi dia harus menanggalkan kemewahannya itu, mencoba hidup mandiri dengan penuh perjuangan demi cintanya lada Lori. Semua itu dijalaninya dengan ikhlas, tanpa mengeluh. Hal tersebut juga ia tanamkan pada kedua putrinya yang beranjak remaja. Hingga badai besar melanda perjalanan rumah tangga mereka, menggoncangkan bantera pernikahannya, dimana sang nakhoda mulai berpaling arah haluannya. Sang suami yang menjadi panutannya, tempat bersandarnya selama ini telah membagi cinta dan kasihnya. Artika sangat galau, tidak tahu harus mengadu pada siapa. ia sangat merindukan ibunya, ingin rasanya bersandar pada bahu sang ibu, menceritakan semuanya. Tapi apa jadinya bila ayah dan ibunya sampai tahu masalah yang sedang menimpanya itu. Apakah mereka akan berlapang dada menerimanya kembali sebagai seorang anak yang telah mengabaikan larangannya. Atau malah akan semakin memojokkannya.

Hingga suatu malam, Artika memutuskan untuk mengemasi beberapa pakaian, hendak meninggalkan rumahnya. Setelah seisi rumah terlelap. Tapi hanya tangis yang tak mengeluarkan air mata yang terus menyiksanya, melihat kedua buah hatinya tidur, tidak tega membiarkan mereka menjadi korban keegoisannya, hingga akhirnya mengurungkan kembali niatnya itu.

“Aku harus berbuat sesuatu..” ucapnya lirih

Tiba-tiba saja terbayang wajah bayi cantik berambut ikal dengan mata berbinar, wajah bayi itu mengingatkannya pada sosok kecil kedua putrinya dulu.

“Tuhan, apa yang harus aku perbuat?” pintanya dalam hati.

Hatinya teriris, membayangkan wajah cantik bayi tak berdosa itu, yang harus lahir dari air matanya.

“Ini adalah anak kami, anaknya mas Lori” ujar Mirna ketika ditemui Artika di rumahnya.

Amarah dan iba menyatu jadi satu, membungkam mulut Artika yang datang untuk melabrak Mirna, perempuan yang diam-diam dinikahi suaminya. Pergi meninggalkan rumah gubuk itu tanpa sepatah katapun. Hanya air mata yang mengalir deras yang berjatuhan membelah pipinya. Meninggalkan pemukiman kumuh di sebuah bantaran sungai. Kemarahannya terus memuncak pada Lori, yang begitu tega merusak hidup seorang perempuan muda demi nafsunya semata.

“Aku juga mencintainya, sama besarnya dengan cintaku padamu..” jelas Lori ketika itu.

“Cukup mas, kamu lelaki bejat”

“Aku tidak seperti yang kamu pikirkan, aku mencintainya dan aku menikahinya karena aku ingin membuat  dia bahagia..”

“Bahagia bagaimana?” suara Artika menegaskan, seolah hidupnya selama ini tidak bahagia.

“lalu kamu buat aku menderita, membuat anak-anakmu menanggung semua perbuatanmu itu, apa kamu tidak berfikir ke arah sana mas..” tambah Artika.

“kita bisa hidup bersama..”

“Tidak!”

“Tika.. kamu jangan egois..”

“Egois kamu bilang..?!” mata Artika melebar.

“kamu beda mas, kamu sudah ngga seperti Lori yang aku kenal dulu” tutup Artika dimalam itu.

Artika keluar dari kamar putrinya, bergegas mengambil air wudhu, bersujud diatas sajadah panjangnya. Meminta petunjuk atas keadaan yang sedang menimpanya.

“Tuhan, maafkan aku, cukup kau hukum aku saja, atas kesalahan dan dosa yang aku perbuat tapi jangan anak-anakku, biarkan mereka tumbuh dengan baik” pintanya.

“Mungkin ini adalah hukuman bagi anak yang tidak mendengarkan perkataan orang tuanya, maafkan aku Tuhan..” tambahnya menangis.

“Aku hanya ingin diberi kekuatan untuk isa menghadapi semua ini, berilah petunjuk-Mu..” tambahnya dalam doa.

***

 

Matahari menyingsing, hangatnya sang fajar mulai menerangi seisi bumi, memberikan sinarnya pada bunga-bunga yang bermekaran.

“Tika..” suara lembut yang telah lama dirindukan itu jelas terdengar nyata di telinganya.

“Ibu..” Tika mengejar perempuan berambut putih itu, memeluknya erat sang ibu.

“Ibu kangen kamu..” ujar perempuan tua yang Tengah asik menyirami bunga di pekarangannya itu.

“Kamu..?”

“Aku udah ngga kerja lagi bu, aku..” Artika mulai menahan isaknya.

Sementara sang ibu membelai rambutnya lembut.

“Aku minta maaf bu..”

“Minta maaf untuk apa?”

“Untuk semua.. aku ngga pernah mendengarkan perkataan ibu..”

Perempuan baya itu hanya melempar senyumnya.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, kamu sudah dewasa, kamu sudah tau yang terbaik untuk hidupmu, semuanya ada hikmahnya” ujar sang Ibu.

Dengan terbata Artika pun menceritakan semua yang terjadi pada ibunya.

“Semua masalah pasti ada maksudnya, karena masalah yang hadir itu akan membuat kitaa jadi lebih kuat dan bijaksana dalam hidup, tinggal bagaimana kita menyikapinya” ibunya menasehati.

“Kamu pasti tahu apa yang harus kamu lakukan” tutup sang ibu. 

***

Malam semakin larut, hanya terdengar suara kicauan burung hantu bernyanyi dari kejauhan. Lori dan Artika masih terdiam tidak saling menyapa. Suasana rumah semakin dingin dan sepi.

“Aku ngga mau ini terus berlarut-larut” ujar Artika membuka hening.

“Maksud kamu?” timpal Lori lirih.

“Aku mau masalah ini diselesaikan”

Lori hanya terdiam.

“Apa tindakanmu mas?” tanya sang Istri

Sementara sang suami masih terdiam.

“Aku mau kamu pilih, aku atau perempuan itu?” tegas Artika.

Wajah Lori tampak panik, kebingungan semakin tampak di sorot matanya. Ada sedikit penyesalan akan perbuatannya, Entah setan apa yang berhasil merasukinya, sehingga telah gegabah dengan yang namanya cinta dan pernikahan.

“Maaf kan aku Tika”

“Sudah terlambat!”

“Tidak ada kata terlambat..”

“Sekarang kamu pilih aku atau dia!” Artika kembali menegaskan.

“Ngga bisa begitu, dia punya anak..”

“Kamu pikir kedua putri kita itu bukan anak?”

“Sudahlah Tika, kamu..”

“Yasudah kalau kamu tidak bisa memilih, biar aku yang ambil tindakan”

“Maksud kamu?” Lori menyerjitkan dahi.

“Terpaksa aku akan membawa masalah ini ke badan hukum”

“Tika.. aku mohon.. Mirna itu..”

“Jadi kamu pilih aku atau dia?” Artika mengulangi pertanyaannya tegas.

Lori menghela nafas panjangnya.

“Tika, Mirna punya bayi. Itu anakku juga..” ujar Lori lirih, seolah memelas.

“Kita hidup di negara hukum, ada pasal yang mengatur rapi masalah yang sedang kita hadapi..”

“Kamu mengancam saya?” Tanya Lori gelisah.

“Aku hanya bicara fakta” jawab Artika tegas.

Wajah Lori memucat, gelisah, bingung harus berbuat apa. Lori harus mengambil Keputusan yang bijak. Ia baru menyadari kalau hidup bukanlah sekedar main-main yang bebas mengumbar nafsu semata. Ia lupa bahwasannya setiap perbuatan pasti ada akibat yang harus ditanggungnya.

***

Hari demi hari terus berlalu, seolah enggan berkompromi pada manusia yang masih terlilit masalah. Lori memilih pergi untuk sementara waktu, menghindar dari kedua wanita yang dinikahinya. Mencoba mengendapkan masalah yang masih belum ada jalan keluarnya. Ucapan Artika masih terus terngiang di kepala. Ia tahu benar karakter sang istri yang keras kepala dan teguh pada pendiriannya, jika dia tidak segera mengambil keputusan, maka Artika pun akan melancarkan aksinya, yaitu membawa permasalah ini ke lembaga hukum. Dimana posisi dirinya bahkan sang istri siri sangatlah lemah. Yang bisa mengancam mereka masuk jeruji besi.

Rasa bersalah terus menghantui lelaki berambut ikal itu. Terbayang wajah sang bayi yang tanpa dosa harus menanggung ulahnya, kedua anak gadis yang akan terganggu kesehatan mentalnya, juga dua wanita yang tersakiti karena perbuatannya.

Lori sudah kehabisan cara untuk marah pada dirinya sendiri. Satu-satunya jalan yaitu harus menguatkan diri atas keputusan yang akan diambilnya. Karena pilihan ini bukanlah sebuah situasi yang mudah, ada banyak pasang mata tanpa dosa yang akan menerima konsekuensinya, walau ia tahu keputusan mana yang lebih kecil konsekuensinya. Lelaki tampan itu berubah menjadi tak terurus, tak jarang menangis dalam dekapan malam dan kesendirian. Meminta nasihat pada orang-orang terdekat sebagai referensi atas keputusan yang akan diambilnya.

"Maafkan aku Tuhan, aku telah hilaf, ijinkan aku memperbaikinya" pintanya dalam hening malam.

"Semoga aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi, yang tidak gegabah dalam bertindak, ridhoi keputusanku Tuhan" tambahnya menutup doa.

"Bapak.." ujar putri bungsunya menyambut kedatangan sang Ayah. Di ciumnya tangan lusuh lelaki itu.

"Mama.. Bapak pulang!" Teriak gadis berambut keriting itu.

Artika pun mengahmpirinya dengan keputusasaan.

Sementara kedua putrinya sibuk menyiapkan hidangan dan secangkir kopi untuk sang ayah, juga air hangat untuk keperluan mandinya.

Setelah makan malam selesai, kedua putrinya kembali ke kamarnya masing-masing. Tinggallah sepasang suami istri yang sedang mencoba mencari jalan keluar atas permasalahannya. Hening sesaat tanpa percakapan. Artika terdiam dengan tatapan matanya yang kosong, berharap suaminya telah mengambil keputusan. Bahkan perempuan yang lebih dulu dinikahinya itu telah siap dengan segala kemungkinan, jika Lori lebih memilih Mirna daripada dirinya, ia sudah siap menjadi seorang janda. Perlahan wajah Lori mengarah pada Artika. Perempuan itu enggan menoleh sedikitpun pada suaminya. Tangannya tidak berhenti membolak balikkan sendok dan garpu diatas piring kotornya. Lori mulai membungkukkan badannya, meraih kedua tangan istrinya perlahan.

"Aku sudah menjatuhkan talak tiga pada Mirna" bisik Lori

Dengan cepatnya Artika menarik tangannya dari genggaman Lori, ia terkejut mendengar pernyataan suaminya itu. Wajahnya gelisah, matanya mulai berkaca-kaca. Ia membayangkan nasib Mirna yang terhempas begitu saja. Seorang gadis lugu yang sedang bekerja di sebuah kantin, yang terpaksa berhenti dan mempunyai anak, lalu dengan begitu mudahnya di ceraikan begitu saja. Sebagai sesama wanita Artika tentu merasakan perasaan Mirna. Tapi di satu sisi, ia juga bagian dari orang yang harus menanggung derita karena sang suami melakukan poligami tanpa tahu dan restunya. Semua rasa bercampur menjadi satu. Hingga buliran air mata itu tak dapat terbendung.

"Maafkan aku, ini keputusan terbaik yang aku ambil, semoga terbaik untuk semua" tambah Lori.

"Aku akan tetap bertanggung jawab pada bayi perempuan itu, bagaimanapun juga dia anakku, ijinkan aku untuk tetap menafkahinya sampai kapanpun" terang Lori.

Artika hanya mengangguk tanpa kata. Entah harus bersedih atau bahagia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BLURB

 

Aku memilihmu, kuserahkan semua hidupku untuk mengabdi padamu. Hingga aku dihadapkan pada persimpangan jalan yang sulit sekali aku pilih kemana arah langkahku. Sulit rasanya, walau telah aku coba berusaha memperbaiki dan berdamai dengan keadaan yang aku sendiri mulai meragukannya.

 

Comments

Popular Posts