TAKDIR
CINTA KAMBOJA
Oleh
Surur
Aku
terjebak di dalam situasi dimana dengan sadar kubiarkan semuanya terjadi begitu
saja. Walaupun sebenarnya ku tahu dan telah kupahami bagaimana akhir cerita ini,
tapi biarlah semesta yang akan membimbingnya. Marsha, Perempuan lembut dan baik
hati dimataku. Masih saja kuingat ketika pertama kali bertemu. Kala itu bola
mataku terpaku, menyaksikan perempuan berparas cantik berjalan diatas zebra
cross, dia biarkan jaketnya kuyup terguyur hujan, melindungi perempuan tua yang
berjalan disampingnya. Tak dipedulikan dirinya yang menggigil, mengantarakan
perempuan renta yang tak dikenal itu pada tujuannya, hingga ia tampak
kebingungan setelahnya. Kusodorkan payung hitam milikku di atas kepalanya. Ia
pun tersenyum, membenahi rok mini merah itu lebih turun mendekati lutut. Bukan
karena penampilannya yang mencuri perhatianku, tapi kebaikan yang baru saja ia
lakukan membuatku takjub.
“Terimakasih
ya sudah membantu nenek tadi?” suaraku lirih, tersamarkan suara hujan yang
mengguyur kota di sore itu, hingga kami pun berteduh di sebuah coffee bean
tak jauh dari lampu merah tadi.
“Senang
rasanya bisa membantu orang lain, memang klise sih, tapi faktanya seperti itu”
terang Marsha lebih tenang.
“Hidup
ini singkat, aku ingin memanfaatkannya” tambahnya menunduk. Ada kesedihan yang
tampaknya sangat dalam dirasa.
“terimakasih
ya orang baik, sudah memeberikan kehangatan” ia menyeruput secangkir kapucino.
Kami pun berkenalan dengan sedikit canggung
berbagi cerita dan tentunya saling tukar nomor ponsel. Kelembutan dan kebaikan
hatinya mencuri perhatianku, mengganggu setiap tidur malamku, membuatku ingin
mengenalnya lebih dekat.
"Baiknya
jangan, karena hanya akan menumbuhkan luka saja" ujar Marsha saat itu.
Aku
sungguh tak paham maksud perkataan itu, mengacuhkannya dan membiarkan semua
mengalir begitu saja.
"Aku
tak mau melawan takdir" ujarku.
Dia
terdiam menunduk.
"Tapi
kamu bisa mengarahkan takdirmu" balasnya lirih
"jangan
main-main dengan perasaan dan takdir Nino" tambahnya dengan suara terbata
dan mata berkaca-kaca.
"Kamu
kenapa?" tanyaku mengejar.
"Kamu
tidak tau siapa aku, dan tidak perlu tahu" tegas Marsha
"aku
tidak mau tahu dan tidak akan mencari tahu siapa kamu" gombalku
"aku
akan membiarkan takdir menuntun rasa ini" tambahku kala itu.
Semenjak
saat itu kami pun melewati hari demi hari tanpa percakapan yang serius lagi.
kami hanya menghabiskan sisa hari kami bersama. Sepulang dari kantor, aku
selalu menunggunya di coffee bean pertama kali kita jumpa, meneguk
secangkir kopi hingga menjelang larut malam, kami pun berpisah. Tak
diijinkannya aku mengantar ke tempat tinggalnya, dia selalu
bilang belum siap.
Hingga
suatu malam aku mencarinya kemana-mana, bahkan di coffe itu, tapi tak
menemukannya juga. Ia menghilang tanpa jejak, bahkan pesan singkatku hanya
bertanda checklist satu, entah dimana dia?.
Kuberanikan diri untuk mendatangi tempat kediamannya, dia bilang tinggal
di kos merpati. Setelah beberapa jam lamanya menunggu, akhirnya aku bisa
melihat batang hidungnya. Riasan wajahnya tampak tak biasa, bibirnya merah
merekah, dengan pakaian yang sangat minim, dia keluar dari sebuah mobil mewah
berwarna gelap, melambaikan jari manisnya mesra pada seorang lelaki setengah
baya, tepat pukul tiga dini hari.
"Sudah
kubilang jangan pernah cari tahu siapa aku!" Tegasnya lirih menahan marah.
Aku
hanya bisa terpaku tanpa bereaksi apapun ketika wanginya melewatiku , membuka
gerbang tinggi bangunan berwarna putih itu. Setelah malam itu, kami
pun tidak pernah bertemu kembali. Aku melanjutkan rutinitasku, sibuk dengan
project yang sedang kami garap di kantor.
***
"Kemana
saja pak? lama vakum malah benyak melamun" suara Athifa mengagetkanku.
"Engga
kemana-mana kok" aku melempar senyum
"yasudah
kita siap-siap yuk, ayo teman-teman kita berangkat! semuanya sudah dinaikkan ke
dalam mobil” tambahnya mengomandoi kami.
Athifa
adalah salah satu tenaga medis yang menghabiskan sisa waktu sebagai relawan
disebuah organisasi bukan pemerintah atau yayasan yang sering melakukan
penyuluhan kesehatan, pengobatan gratis, dan kegiatan sosial lainnya dan juga
mencari donatur, seperti tugasku di yayasan ini. Kami melaju menuju sebuah
rumah sakit kanker, melakukan berbagai aktifitas kemanusiaan disana.
“Sering
berkunjung ke rumah sakit adalah caraku bersyukur atas sehat yang Tuhan berikan”
ujar Athifa mencoba mendekatiku.
Gadis
muda berkerudung itu seolah mengisyaratkan perasaannya padaku, sedangkan aku
masih saja berpura-pura lugu tak menggubris sinyal itu, sibuk bertugas, berinteraksi
langsung dengan para penyintas kanker, setidaknya menumbuhkan semangat hidup di
Tengah cobaan hidup yang sedang mereka hadapi. Hingga aku dikejutkan oleh sosok
yang tak asing bagiku. Dia melintas begitu cepatnya dari balik jendela ruangan.
Marsha, ya perempuan itu adalah Marsha, tapi sedang apa dia di sana? gumamku
sambil mengejarnya, ia menghilang begitu saja.
***
Kudatangi
kembali coffee bean tempat pertama kita betemu dulu, berharap Marsha
juga menyimpan rindu yang sama denganku.
"Sudah
lama menunggu?" suara yang tak asing itu mengagetkanku.
Nampaknya
ia juga menyimpan rindu yang sama. Kami kembali berbincang hangat, sehangat
kopi yang menemani sore itu.
"Kenapa
kamu ada disini?" Tanya Marsha
"Ehm..
anu..aku kangen kita berbincang lagi.."
"Kamu
tidak membenciku?"
Aku
menggelengkan kepala "tidak ada alasan untuk membenci"
"aku
kotor Nino" ungkap perempuan yang tampak lebih kurus dari sebelumnya.
"Tidak
ada manusia yang suci di dunia ini, semuanya punya dosa, hanya saja Tuhan masih
menutupi dosa-dosa itu" balasku berusaha bijak.
Dia
menangis tersedu. "Aku takut Tuhan tidak mengampuniku"
"Tuhan
tidak seperti kita, yang mengedepankan ego dalam melihat sesuatu. Tuhan itu
Maha Pengampun, setahuku Tuhan itu sesuai dengan prasangka hambanya, Dia akan
memberikan ampunan jika kita meminta ampun pada-Nya" ujarku dengan nada lembut
agar tak merasa dihakimi.
"Terima
kasih Nino, kamu sudah memberikan kekuatan padaku. Jujur, aku rindu kembali di
jalan-Nya, merindukan kasihnya, tapi siapalah aku, hanya manusia dengan latar belakang
yang kelam, penuh cerita yang mencekam hingga aku tersesat dari jalan-Nya, bantu
tuntun aku Nino" urainya dengan tatapan kosong.
Aku
mengangguk, tersenyum. “kamu tahu?
Bahwasannya Tuhan tidak akan mengubah keadaan hambanya sebelum mereka mengubah
keadaan diri mereka sendiri” tambahku.
Malam
pun semakin pekat, dengan vespa biru, kuantarkan perempuan cantik itu sampai
gerbang tinggi kos merpati.
***
Sinar
bulan benderang menerangi langit, hembusan sang bayu lembut menyibak dedaunan.
Setelah meeting koordinasi para volunteer selesai, kamipun bergegas
pulang, terpaku memandangi langit dengan
bulan purnamanya, mengagumi kebesaran Penciptanya.
“Indah
yah” suara kami bertabrakan mengucapkan kata yang sama.
Mendadak
kami merasa canggung. Sempat hening beberapa lama.
“kamu
dulu deh..” ujarku
“baiknya
kamu dulu..” gadis berkerudung abu-abu itu memepersilahkan.
“Aku
mau cerita ke kamu” lirihku.
Athifa
mengangguk, siap mendengarkan. Ingin rasanya ku menceritakan Marsha padanya,
berharap Athifa bisa memberikan pandangannya, dan sedikit memberi jalan atas kebingungan
yang sedang kurasa, atas perasaanku pada Marsha, tapi tak tau harus dimulai
dari mana?
“kok
diam saja?”
“hmm,
anu.. “
“tentang
perempuan yang kamu kejar waktu di rumah sakit itu ya?” suara Athifa terbata
Aku
terkejut mendengarnya. Mengapa Athifa tahu tentang itu? tampaknya dia bisa
membaca isi kepalaku, begitu perhatiannya dia padaku.
“kebetulan
aku lihat sih..” suaranya semakin berat
Ia
terlihat tampak sentimentil, matanya berkca-kaca, tidak seperti Athifa yang aku
kenal periang. Jujur aku tidak sanggup megutarakannya.
“Bang,
ada yang mau ketemu” suara salah satu volunteer mengagetkan.
Betapa
lebih kagetnya aku ketika melihat sosok Marsha berdiri menghadap kami.
Perempuan beramuut ikal yang tubuhnya semakin kurus, dengan kantung mata yang
membesar itu melempar senyumnya.
“Maaf
mengganggu” ujar Marsha lirih
Aku
dan Athifa pun berdiri menyambutnya,
“oh
tidak apa-apa kok, santai saja” sahut Athifa dengan suara yang berubah menjadi riang
“aku hanya mau berpamitan” suara Marsha
semakin lirih
“aku
akan kembali ke rumah budeku di kampung, ada orang baik yang telah menutup
lunas hutang keluargaku, aku juga tidak tahu siapa?” tambah Marsha menahan
isak.
“Terima
kasih Nino, kamu telah mengembalikanku pada jalan Tuhan, semoga Tuhan memberkatimu”
“aku
permisi dulu” dengan wajah menunduk, Athifa berlalu meninggalkan kami berdua.
Tanpa
sepatah kata lagi, Marsha pun pergi meninggalkanku. Sementara aku hanya berdiri
terpaku, membiarkan semua terjadi begitu saja. Ingin rasanya ku kejar Marsha, setidaknya
menunda kepergiannya, memberi kesempatan padaku untuk mengumpulkan keberanian,
merangkai kata, mengutarakan perasaan cinta ini padanya, tapi apakah aku mampu?
Apa kata Abi dan Umi bila tahu latar belakang Marsha. Tapi apakah aku harus
sepicik itu? seolah sudah menjadi manusia paling suci, lalu apa bedanya aku
dengan iblis, yang merasa paling dari semuanya.
***
Aku
tak bisa membohongi diri, yang sepi di tengah keramaian. Rindu semakin menggebu
tatkala hujan mengguyur langit sore, membuatku berlari ke tempat pertama kami
bertemu dulu. Berharap ia menyambut, menyeruput kopi hangat bersamaku. Harus
sampai kapan rasa ini terus bersembunyi, layaknya seperti
pecundang sejati. Aku mendatangi kos merpati, berharap masih ada
kesempatan untuk mengutarakan isi hati, mencari tahu alamat budenya pada
pemilik kos atau sejawatnya.
Semua
berjalan seperti rencana, tak ada halang merintang yang menghambatnya. Banyak
sekali orang baik yang aku temui. Aku pun melaju kesebuah desa kecil dengan
pemandangan alam yang masih asri. Akhirnya kutemui juga perempuan baya yang di
panggil bude oleh Marsha, disambut hangat oleh keluarga
sederhana itu. Mataku menyusuri setiap sudut rumah, berharap menemukan
bayangan orang yang aku cari, atau setidaknya kembali mendengar suara yang
telah lama ku rindu. Hingga bude membawaku kesebuah tempat, menyusuri
ilalang, dan dedaunan kering yang berguguran. Aku
diam seribu kata, Sungkan bertanya, hanya menyaksikan bunga kamboja yang
berguguran indah diatasnya, menyelimuti uggukan tanah merah yang masih
basah. Kakiku bersimpuh, terasa lemas tak bertulang.
"Sudah
lama dia sakit, tapi dia begitu tegar melebihi karang dilautan"
ucap bude lirih.
"Berjuang
demi keluarganya yang terlilit hutang rentenir, menjadi tulang punggung
menggantikan posisi kedua orang tuanya yang telah lama tiada" tambah
perempuan lembut itu.
Aku
masih diam, menahan sesak di dalam dada. Tanganku gemetar membelai lembut nisan
bertuliskan nama MARSHA AYU TRIYANI. Orang yang ingin kujumpai, yang
seharusnya dia tau tentang isi hati ini. Benar katanya dulu, untuk tidak
mencari tahu siapa dirinya, karena hanya akan menumbuhkan luka, seperti yang
sedang kurasa, dipermainkan oleh takdir yang kubuat sendiri. Marsha, bagiku
ibarat sekuntum bunga kamboja, yang terhempas angin, di dera hujan, di sengat
matahari dan di cekam cerita, dan aku kan mengingatnya sebagai cinta.
“Kanker
itu telah lama menggerogotinya” suara bude terbata.
“Hingga
seseorang datang kemari, melunasi hutang keluarga kami, barulah Marsha kembali.
Tapi tak lama setelah kepulangannya, penyakitnya semakin menjadi, Marsha tak
berdaya melawan, hingga ajal menjemputnya” dengan berlinangan air mata,
perempuan itu menambahi.
Aku
pun tak dapat membendung kesedihan, mencoba menenangkan isak perempuan
dihadapaku itu.
“siapa
orang baik itu bude?” tanyaku
“Athifa”
Cerita ini terinspirasi oleh lagu berjudul Jiwaku
Sekuntum Bunga Kamboja oleh Panji Sakti



Comments
Post a Comment