Penerbit : Arkais Creative 
terbit Mei 2024
Tema : song fiction

TAKDIR CINTA KAMBOJA

Oleh Surur

Aku terjebak di dalam situasi dimana dengan sadar kubiarkan semuanya terjadi begitu saja. Walaupun sebenarnya ku tahu dan telah kupahami bagaimana akhir cerita ini, tapi biarlah semesta yang akan membimbingnya. Marsha, Perempuan lembut dan baik hati dimataku. Masih saja kuingat ketika pertama kali bertemu. Kala itu bola mataku terpaku, menyaksikan perempuan berparas cantik berjalan diatas zebra cross, dia biarkan jaketnya kuyup terguyur hujan, melindungi perempuan tua yang berjalan disampingnya. Tak dipedulikan dirinya yang menggigil, mengantarakan perempuan renta yang tak dikenal itu pada tujuannya, hingga ia tampak kebingungan setelahnya. Kusodorkan payung hitam milikku di atas kepalanya. Ia pun tersenyum, membenahi rok mini merah itu lebih turun mendekati lutut. Bukan karena penampilannya yang mencuri perhatianku, tapi kebaikan yang baru saja ia lakukan membuatku takjub.

“Terimakasih ya sudah membantu nenek tadi?” suaraku lirih, tersamarkan suara hujan yang mengguyur kota di sore itu, hingga kami pun berteduh di sebuah coffee bean tak jauh dari lampu merah tadi.

“Senang rasanya bisa membantu orang lain, memang klise sih, tapi faktanya seperti itu” terang Marsha lebih tenang.

“Hidup ini singkat, aku ingin memanfaatkannya” tambahnya menunduk. Ada kesedihan yang tampaknya sangat dalam dirasa.

“terimakasih ya orang baik, sudah memeberikan kehangatan” ia menyeruput secangkir kapucino.

 Kami pun berkenalan dengan sedikit canggung berbagi cerita dan tentunya saling tukar nomor ponsel. Kelembutan dan kebaikan hatinya mencuri perhatianku, mengganggu setiap tidur malamku, membuatku ingin mengenalnya lebih dekat.

"Baiknya jangan, karena hanya akan menumbuhkan luka saja" ujar Marsha saat itu.

Aku sungguh tak paham maksud perkataan itu, mengacuhkannya dan membiarkan semua mengalir begitu saja.

"Aku tak mau melawan takdir" ujarku.

Dia terdiam menunduk.

"Tapi kamu bisa mengarahkan takdirmu" balasnya lirih

"jangan main-main dengan perasaan dan takdir Nino" tambahnya dengan suara terbata dan mata berkaca-kaca.

"Kamu kenapa?" tanyaku mengejar.

"Kamu tidak tau siapa aku, dan tidak perlu tahu" tegas Marsha

"aku tidak mau tahu dan tidak akan mencari tahu siapa kamu" gombalku

"aku akan membiarkan takdir menuntun rasa ini" tambahku kala itu.

Semenjak saat itu kami pun melewati hari demi hari tanpa percakapan yang serius lagi. kami hanya menghabiskan sisa hari kami bersama. Sepulang dari kantor, aku selalu menunggunya di coffee bean pertama kali kita jumpa, meneguk secangkir kopi hingga menjelang larut malam, kami pun berpisah. Tak diijinkannya aku mengantar ke tempat tinggalnya, dia selalu bilang belum siap.

Hingga suatu malam aku mencarinya kemana-mana, bahkan di coffe itu, tapi tak menemukannya juga. Ia menghilang tanpa jejak, bahkan pesan singkatku hanya bertanda checklist satu, entah dimana dia?.  Kuberanikan diri untuk mendatangi tempat kediamannya, dia bilang tinggal di kos merpati. Setelah beberapa jam lamanya menunggu, akhirnya aku bisa melihat batang hidungnya. Riasan wajahnya tampak tak biasa, bibirnya merah merekah, dengan pakaian yang sangat minim, dia keluar dari sebuah mobil mewah berwarna gelap, melambaikan jari manisnya mesra pada seorang lelaki setengah baya, tepat pukul tiga dini hari.

"Sudah kubilang jangan pernah cari tahu siapa aku!"  Tegasnya lirih menahan marah.

Aku hanya bisa terpaku tanpa bereaksi apapun ketika wanginya melewatiku , membuka gerbang tinggi bangunan berwarna putih itu. Setelah malam itu, kami pun tidak pernah bertemu kembali. Aku melanjutkan rutinitasku, sibuk dengan project yang sedang kami garap di kantor.

***

"Kemana saja pak? lama vakum malah benyak melamun" suara Athifa mengagetkanku.

"Engga kemana-mana kok" aku melempar senyum

"yasudah kita siap-siap yuk, ayo teman-teman kita berangkat! semuanya sudah dinaikkan ke dalam mobil” tambahnya mengomandoi kami.

Athifa adalah salah satu tenaga medis yang menghabiskan sisa waktu sebagai relawan disebuah organisasi bukan pemerintah atau yayasan yang sering melakukan penyuluhan kesehatan, pengobatan gratis, dan kegiatan sosial lainnya dan juga mencari donatur, seperti tugasku di yayasan ini. Kami melaju menuju sebuah rumah sakit kanker, melakukan berbagai aktifitas kemanusiaan disana.

“Sering berkunjung ke rumah sakit adalah caraku bersyukur atas sehat yang Tuhan berikan” ujar Athifa mencoba mendekatiku.

Gadis muda berkerudung itu seolah mengisyaratkan perasaannya padaku, sedangkan aku masih saja berpura-pura lugu tak menggubris sinyal itu, sibuk bertugas, berinteraksi langsung dengan para penyintas kanker, setidaknya menumbuhkan semangat hidup di Tengah cobaan hidup yang sedang mereka hadapi. Hingga aku dikejutkan oleh sosok yang tak asing bagiku. Dia melintas begitu cepatnya dari balik jendela ruangan. Marsha, ya perempuan itu adalah Marsha, tapi sedang apa dia di sana? gumamku sambil mengejarnya, ia menghilang begitu saja.

***

Kudatangi kembali coffee bean tempat pertama kita betemu dulu, berharap Marsha juga menyimpan rindu yang sama denganku.

"Sudah lama menunggu?" suara yang tak asing itu mengagetkanku.

Nampaknya ia juga menyimpan rindu yang sama. Kami kembali berbincang hangat, sehangat kopi yang menemani sore itu.

"Kenapa kamu ada disini?" Tanya Marsha

"Ehm.. anu..aku kangen kita berbincang lagi.."

"Kamu tidak membenciku?"

Aku menggelengkan kepala "tidak ada alasan untuk membenci"

"aku kotor Nino" ungkap perempuan yang tampak lebih kurus dari sebelumnya.

"Tidak ada manusia yang suci di dunia ini, semuanya punya dosa, hanya saja Tuhan masih menutupi dosa-dosa itu" balasku berusaha bijak.

Dia menangis tersedu. "Aku takut Tuhan tidak mengampuniku"

"Tuhan tidak seperti kita, yang mengedepankan ego dalam melihat sesuatu. Tuhan itu Maha Pengampun, setahuku Tuhan itu sesuai dengan prasangka hambanya, Dia akan memberikan ampunan jika kita meminta ampun pada-Nya" ujarku dengan nada lembut agar tak merasa dihakimi.

"Terima kasih Nino, kamu sudah memberikan kekuatan padaku. Jujur, aku rindu kembali di jalan-Nya, merindukan kasihnya, tapi siapalah aku, hanya manusia dengan latar belakang yang kelam, penuh cerita yang mencekam hingga aku tersesat dari jalan-Nya, bantu tuntun aku Nino" urainya dengan tatapan kosong.

Aku mengangguk, tersenyum.  “kamu tahu? Bahwasannya Tuhan tidak akan mengubah keadaan hambanya sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri” tambahku.

Malam pun semakin pekat, dengan vespa biru, kuantarkan perempuan cantik itu sampai gerbang tinggi kos merpati.

***

Sinar bulan benderang menerangi langit, hembusan sang bayu lembut menyibak dedaunan. Setelah meeting koordinasi para volunteer selesai, kamipun bergegas pulang, terpaku  memandangi langit dengan bulan purnamanya, mengagumi kebesaran Penciptanya.

“Indah yah” suara kami bertabrakan mengucapkan kata yang sama.

Mendadak kami merasa canggung. Sempat hening beberapa lama.

“kamu dulu deh..” ujarku

“baiknya kamu dulu..” gadis berkerudung abu-abu itu memepersilahkan.

“Aku mau cerita ke kamu” lirihku.

Athifa mengangguk, siap mendengarkan. Ingin rasanya ku menceritakan Marsha padanya, berharap Athifa bisa memberikan pandangannya, dan sedikit memberi jalan atas kebingungan yang sedang kurasa, atas perasaanku pada Marsha, tapi tak tau harus dimulai dari mana? 

“kok diam saja?”

“hmm, anu.. “

“tentang perempuan yang kamu kejar waktu di rumah sakit itu ya?” suara Athifa terbata

Aku terkejut mendengarnya. Mengapa Athifa tahu tentang itu? tampaknya dia bisa membaca isi kepalaku, begitu perhatiannya dia padaku.

“kebetulan aku lihat sih..” suaranya semakin berat

Ia terlihat tampak sentimentil, matanya berkca-kaca, tidak seperti Athifa yang aku kenal periang. Jujur aku tidak sanggup megutarakannya.

“Bang, ada yang mau ketemu” suara salah satu volunteer mengagetkan.

Betapa lebih kagetnya aku ketika melihat sosok Marsha berdiri menghadap kami. Perempuan beramuut ikal yang tubuhnya semakin kurus, dengan kantung mata yang membesar itu melempar senyumnya.

“Maaf mengganggu” ujar Marsha lirih

Aku dan Athifa pun berdiri menyambutnya,

“oh tidak apa-apa kok, santai saja” sahut Athifa dengan suara yang berubah menjadi riang

 “aku hanya mau berpamitan” suara Marsha semakin lirih

“aku akan kembali ke rumah budeku di kampung, ada orang baik yang telah menutup lunas hutang keluargaku, aku juga tidak tahu siapa?” tambah Marsha menahan isak.

“Terima kasih Nino, kamu telah mengembalikanku pada jalan Tuhan, semoga Tuhan memberkatimu”

“aku permisi dulu” dengan wajah menunduk, Athifa berlalu meninggalkan kami berdua.

Tanpa sepatah kata lagi, Marsha pun pergi meninggalkanku. Sementara aku hanya berdiri terpaku, membiarkan semua terjadi begitu saja.  Ingin rasanya ku kejar Marsha, setidaknya menunda kepergiannya, memberi kesempatan padaku untuk mengumpulkan keberanian, merangkai kata, mengutarakan perasaan cinta ini padanya, tapi apakah aku mampu? Apa kata Abi dan Umi bila tahu latar belakang Marsha. Tapi apakah aku harus sepicik itu? seolah sudah menjadi manusia paling suci, lalu apa bedanya aku dengan iblis, yang merasa paling dari semuanya.

***

Aku tak bisa membohongi diri, yang sepi di tengah keramaian. Rindu semakin menggebu tatkala hujan mengguyur langit sore, membuatku berlari ke tempat pertama kami bertemu dulu. Berharap ia menyambut, menyeruput kopi hangat bersamaku. Harus sampai kapan rasa ini terus bersembunyi, layaknya seperti pecundang sejati. Aku mendatangi kos merpati, berharap masih ada kesempatan untuk mengutarakan isi hati, mencari tahu alamat budenya pada pemilik kos atau sejawatnya.

Semua berjalan seperti rencana, tak ada halang merintang yang menghambatnya. Banyak sekali orang baik yang aku temui. Aku pun melaju kesebuah desa kecil dengan pemandangan alam yang masih asri. Akhirnya kutemui juga perempuan baya yang di panggil bude oleh Marsha, disambut hangat oleh keluarga sederhana itu. Mataku menyusuri setiap sudut rumah, berharap menemukan bayangan orang yang aku cari, atau setidaknya kembali mendengar suara yang telah lama ku rindu. Hingga bude membawaku kesebuah tempat, menyusuri ilalang, dan dedaunan kering yang berguguran. Aku diam seribu kata, Sungkan bertanya, hanya menyaksikan bunga kamboja yang berguguran indah diatasnya, menyelimuti uggukan tanah merah yang masih basah. Kakiku bersimpuh, terasa lemas tak bertulang.

"Sudah lama dia sakit, tapi dia begitu tegar melebihi karang dilautan" ucap bude lirih.

"Berjuang demi keluarganya yang terlilit hutang rentenir, menjadi tulang punggung menggantikan posisi kedua orang tuanya yang telah lama tiada" tambah perempuan lembut itu.

Aku masih diam, menahan sesak di dalam dada. Tanganku gemetar membelai lembut nisan bertuliskan nama MARSHA AYU TRIYANI. Orang yang ingin kujumpai, yang seharusnya dia tau tentang isi hati ini. Benar katanya dulu, untuk tidak mencari tahu siapa dirinya, karena hanya akan menumbuhkan luka, seperti yang sedang kurasa, dipermainkan oleh takdir yang kubuat sendiri. Marsha, bagiku ibarat sekuntum bunga kamboja, yang terhempas angin, di dera hujan, di sengat matahari dan di cekam cerita, dan aku kan mengingatnya sebagai cinta. 

“Kanker itu telah lama menggerogotinya” suara bude terbata.

“Hingga seseorang datang kemari, melunasi hutang keluarga kami, barulah Marsha kembali. Tapi tak lama setelah kepulangannya, penyakitnya semakin menjadi, Marsha tak berdaya melawan, hingga ajal menjemputnya” dengan berlinangan air mata, perempuan itu menambahi.

Aku pun tak dapat membendung kesedihan, mencoba menenangkan isak perempuan dihadapaku itu.

“siapa orang baik itu bude?” tanyaku

“Athifa”

 

Cerita ini terinspirasi oleh lagu berjudul Jiwaku Sekuntum Bunga Kamboja oleh Panji Sakti


 

Comments

Popular Posts