Wangi
Semerbak Calon Pengantin
Oleh Surur
Mahesa dan
Arumi adalah dua sejoli yang sedang dimabuk cinta, hari bahagia sudah di depan
mata, hanya tinggal hitungan bulan, mereka berdua akan saling berikrar sehidup
semati. Semua telah dipersiapkan dengan matang sesuai dengan konsep yang mereka
inginkan, mulai dari gedung, set pelaminan, juga keperluan dekorasi dan lain
sebagainya. Hingga suatu hari kedua sejoli itu melintas pada sebuah tempat yang
sangat indah. Setelah melakukam survey di beberapa lokasi, rupanya mereka masih
belum menemukan tempat yang cocok untuk konsep foto prewedding yang mereka
inginkan. Kendaraan beroda empat itu pun menepi, melangkah perlahan memasuki
sebuah hutan, juga langit senja yang memancarkan jingga keemasan yang menambah
indah suasana belantara itu.
Kedua pasang
kekasih itu pun segera memasuki hutan tersebut penuh antusias.
"Wow,
indah sekali.." Arumi berdecak kagum.
"Seperti
di dalam dongeng.." Mahesa menambahi, sembari memandangi
sekeliling penuh takjub.
Hampir setiap
sudut tempat itu tak luput dari pengamatan keduanya, tak ada celah sedikitpun,
tempat itu sangat sempurna bagi mereka.
"Kita
harus foto prewed disini!" ujar Mahesa. Sang kekasih pun mengangguk,
setuju.
"Lihat
pohon yang sangat besar itu, kita berdiri di bawahnya dengan menggunakan gaun
kuning, layaknya princes belle.." Arumi mengungkapkan keinginannya.
"Lihat!
ada sungai juga" Mahesa berlari ke tempat air mengalir itu.
Mereka pun
semakin terlena dengan keindahan hutan belantara itu, bahkan semakin jauh
meninggalkan kendaraannya. Masih mengagumi setiap sisi dari tempat itu,
tanpa mereka sadari senja mulai meninggalkannya, langit
berubah menjadi gelap. Mereka pun mulai sadar, dan mencoba mencari
jalan keluar. Beberapa jalan setapak dilaluinya, tapi tidak juga menemukan
jalan yang pernah dilintaisnya.
"Kita
sudah melewati jalan ini berkali-kali.." suara lirih Arumi putus asa.
"Ngga,
kita baru saja menemukan jalan ini" balas Mahesa yakin.
"Aku
capek" keluh sang kekasih.
"Tenang
saja, kita pasti menemukan jalan keluarnya" Mahesa menghibur sang kekasih.
"Kamu
tunggu disini ya, aku akan kembali lagi jika aku sudah menemukan jalan
keluar" ujar lelaki tampan itu.
"Aku akan
ambilkan air dari sungai untukmu" tambahnya lagi
Arumi pun
pasrah, badannya semakin lemas. Jantungnya bedebar kencang tak beraturan,
ketakutan. Mahesa bergegas melangkah meninggalkan perempuan yang
dicintainya itu. Sementara Arumi tergeletak di atas sebuah batu besar, lunglai.
Mahesa semakin jauh meninggalkannya, nmun tiba-tiba langkahnya gontai, lelaki
berbadan kekar itu terdiam sejenak, berusaha bisa berdiri tegap, pepohonan
disekitar seolah berputar mengelilinginya, dia tampak pusing. Jemari tangannya
menyentuh kening, menahan bola mata yang juga ikut berputar. Seketika saja
ia melihat sosok perempuan cantik yang wajahnya tidak asing baginya, Perempuan
berambut panjang itu berteriak mengulurkan tangannya, meminta tolong, tubuhnya
bersimbah darah di bopong oleh seorang raksaksa hitam yang buruk rupa, tangan
kirinya mengenggam sebilah benda tajam, dengan tetesan darah diujungnya.
"Tolong
selamatkan aku..!" Teriak gadis itu lantang.
Seketika saja
Mahesa kembali tersadar, terdiam terpaku. Meyakinkan dirinya kalau yang baru
saja terjadi itu hanya lah ilusinya semata. Bukan pertama kalinya kejadian
seperti itu dirasakan. layaknya sinyal dari semesta yang didapatkan, seolah
memberitahu kejadian yang akan terjadi beberapa waktu kemudian, bahkan sangat
singkat, hanya dalam waktu lima menit saja ilusinya itu bisa menjadi kenyataan.
Mahesa berbalik
arah, berlari dengan cepat, kembali menemui sang kekasih. "Kamu
sudah menemukan jalan keluar?" Tanya Arumi lirih. Mahesa menggelengkan
kepala, menatap sang sekasih penuh iba. Lalu menggendongnya.
"Kita mau
kemana?"
"Kita akan
kembali ke mobil sayang" ujar Mahesa menahan takutnya.
Ia sangat
ketakutan jika saja ilusinya itu benar-benar menjadi kenyataan. Lalu langkahnya
terhenti, melihat sebuah rumah kayu yang telah usang, di depannya. Mereka berdua pun singgah di bangunan tua
yang dikelilingi oleh beraneka ragam bunga nan indah.
Tok tok tok..
Daun pintu itu
terbuka dengan sendirinya, tidak terkunci.
"Ada perlu
apa kemari?" Suara seorang perempuan tua bergetar mengagetkan mereka. "Kami
ingin keluar dari hutan ini" ujar Mahesa. Sementara nenek tua itu menatap
Arumi penuh gairah.
“Masuklah!”
Calon pengantin itu pun menuruti perintah.
“Silahkan
diminum” perempuan renta itu mempersilahkan,
Sepasang
kekasih itu pun langsung mengindahkannya, meneguk secangkir minuman yang disediakan
oleh tuan rumah.
"Pulanglah
nak.." kata Nenek berambut gimbal itu. Seketika bias cahaya
menerangi sekitar, jalan setapak pun jelas terlihat. Mata Mahesa
berbinar, kakinya mulai melangkah keluar dari gubuk itu, semakin menjauh. Hingga
bias cahaya itu hilang dan semakin menggelap, Mahesa mulai tersadar, merasakan ada
sesuatu yang aneh terjadi, ia mengira dirinya menggandeng tangan sang kekasih,
namun ternyata salah, Sosok Arumi yang sedari tadi digandeng telah berubah
menjadi mahluk besar dan hitam penuh dengan bulu dan rambut hitam, dengan aroma
busuk yang menyengat. Mahesa pun terpental, berteriak ketakutan. Mahluk itu menggenggam
sebilah senjata tajam yang panjang, dengan bau amis dan bekas darah yang
menempel disisinya. Sosok itu persis seperti yang ada dalam ilusinya beberapa
waktu lalu.
“Dimana
Arumi?!” teriaknya
Mahluk itu
hanya mengerang dengan suara berat layaknya erangan serigala yang menemukan
seekor mangsa. Telapak kakinya yang lebar mulai melangkah mendekati Mahesa.
“Tolong!” jerit
Mahesa, berharap ada orang yang mendengarnya. Ia berlari secepat mungkin, hingga
terjatuh, Braak!! kakinya menginjak beberapa tumpukan tulang tengkorak. Semakin
membuatnya panik dan ketakutan. Mahluk menyeramkan itu terus mengejarnya.
Dengan terengah-engah Mahesa berusaha berlari mencari jalan kembali ke gubuk
tua itu, hendak menyelamatkan kekasihnya. Tiba-tiba saja mahluk hitam itu sudah
berada di sampingnya, menghunguskan golok runcing itu hampir menusuk perutnya.
Mahesa pun menghindar semampunya, lari terbirit-birit, dengan mudahnya mahluk besar
berbulu hitam itu mengejarnya berusaha membunuh pemuda tampan itu.
“Tolong!”
Mahesa kembali berteriak berlari tak karuan, hingga kakinya terperosok di sebuah
lubang yang tertutup ranting dan dedaunan. Ia berusaha keluar dari lubang itu, tapi
semakin kuat pula lubang itu menariknya ke dalam. Hingga akhirnya tubuh Mahesa
pun berada di perut bumi, masuk dalam lubang itu. Ia merayap melawan gelap,
menyusuri alur lorong kecil di dalam tanah itu. Samar-samar terdengar suara
rintihan manusia, sesekali terdengar suara isak tangis perempuan. Ia merayap
semakin cepat mendekati sumber suara yang semakin terdengar jelas ditelinganya.
Hingga ia melihat celah kecil yang lebih terang dari tempatnya berbaring. Ia
berusaha membuka tutup terowongan itu sekuat tenaga hingga berhasil menembus
sebuah ruang. Betapa kagetnya puluhan manusia tergeletak tak berdaya berada
dalam ruangan itu. Mereka semua adalah perempuan dengan kondisi badan lunglai
kering dan keriput.
“A-ampuni
s-saya..” ujar salah seorang dari mereka pada Mahesa.
“Aku i-ngin
keluar dari s-sini..” tambah salah satu dari perempuan yang tampak tua renta.
Mahesa berjalan mengendap-endap, mencari cara agar bisa menemukan Arumi. Betapa
kagetnya ia ketika melihat sosok sang kekasih sedang terbaring di sebuah
bangsal dengan tangan dan kedua kaki terikat. Harum wewangian beraneka ragam
warna dan jenis bunga pun semerbak tercium, hampir saja Mahesa pingsan
dibuatnya, dengan segera ia menutup hidungnya dengan sapu tangan dari saku
celananya, lelaki itu pun kembali melakukan aksinya, mendekat pada bangsal yang
dikelilingi sesajen dan harumnya bunga. Hingga daun pintu dari arah berlawanan
terbuka, Mahesa bersembunyi dibalik gentong besar berisi air yang baunya sangat
amis. Perempuan tua renta berjalan gemetar mendekati Arumi yang tak berdaya,
tangan kanannya membawa sebilah pisau, sedangkan tangan kirinya menenteng botol
kaca being berukuran sedang.
“Aku akan jadi
muda lagi.. he he he he…” ujar sang nenek keriput itu girang.
Mahesa semakin
panik, mencari cara untuk menyelamatkan kekasihnya.
“Aku mencium
aroma bau pengantin yang sangat wangi dari tubuhmu wahai anak cantik, aku
sangat menyukai itu..” suara perempuan renta itu mendesis ditelinga Amira.
“Dan jiwamu
yang semerbak itu akan segera berpindah padaku, lalu aku akan kembali muda
lagi..wakakaka.. kulitku akan kembali halus, rambutku akan menjadi hitam
berkilau, wajahku akan berubah jadi cantik kembali, karena kamu telah melengkapi
bilangan itu, ya, kamu adalah calon pengantin yang ke dua puluh satu di purnama
ini…” ujar Perempuan tua itu menambahi.
Ritual mistis
perempuan tua yang berusia ratusan tahun pun dimulai, jemarinya yang penuh
cakar dengan kuku panjagnya mulai menyentuh seluruh tubuh Arumi dari ujung kaki
hingga ujung kepala, bibirnya komat-kamit melantunkan mantra ajiannya. Praakk..
suara salah satu guci tua pecah terjatuh, tersenggol Mahesa yang gemetar
menahan takut. Perempuan tua menatapnya penuh amarah, ia mengerang seperti
suara harimau yang sedang lapar.
"Enyahlah
kau!" Nenek tua itu menghunguskan senjata tajamnya pada Mahesa, hampir
saja mengenai lengan kirinya, Mahesa terperanjat, menghindar, terjadi
perkelahian yang sangat dahsyat antara Mahesa dan nenek bermuka buruk itu,
hingga nenek itu tersungkur. Mahesa melepaskan tali yang mengikat badan Arumi,
membopong kekasihnya keluar dari rumah itu. Tapi tiba-tiba semua akses pintu
menghilang, tak ditemukan satu pun pintu di rumah tua itu. Mahesa membawa sang
kekasih ke lubang rahasia yang membawanya masuk ke dalam gubuk itu.
“Merangkaklah
mengikuti alur terowongan..” jelas Mahesa pada Arumi. Perempuan cantik itu
hanya mengangguk, lemas.
"Ayo
bangun! bangun semuanya! kita keluar dari tempat ini" Mahesa mencoba
menyadarkan para korban perempuan tua itu, yang masih dibawah
pengaruh sihirnya.
Sebagian
menuruti instruksi Mahesa, tapi banyak pula yang sudah tak bergeming, terbujur
kaku tak bernyawa. Mereka menyusuri lorong gelap bawah tanah,
merangkak dengan sisa tenaga mereka.
"Mau
kemana kalian?" Teriak Nenek buruk rupa itu sayup terdenhar. Setelah
semuanya berhasil masuk ke dalam lorong rahasia itu, mahesa pun bergegas
menutupnya, berharap sang penyihir itu tidak menemukannya.
Gelap dan penak, mereka berupaya sebisa mungkin untuk keluar dari
lorong yang perlahan mulai runtuh itu.
"Ayo
cepat!" Seru Mahesa mengomandoi. Rupanya para perempuan itu tak
mendengarkannya. Sebagian dari mereka tidak mampu bertahan, sesak dan tewas
dalam lorong gelap itu.
“Arumi,
dengarkan aku, Arumi, aku mohon please..” Mahesa sangat panik ketika melihat
tubuh kekasihnya terbujur lunglai.
“Kita sudah
keluar dari lorong itu, please Arumi, bangunlah..” pinta sang kekasih.
Tidak satupun
dari mereka yang berhasil selamat. Hanya Arumi dan Mahesa yang mampu keluar
dari lorong pekat itu.
“Kita akan
pulang, kita akan menikah, kita akan punya anak yang lucu-lucu..” Mahesa
menangis, tersedu-sedu.
“Maafkan aku
Arumi, maafkan aku.. harusnya aku tidak mengajakmu ke tempat ini. Maafkan
aku..” suaranya tercekik menahan kesedihan.
Dipeluknya
tubuh sang kekasih penuh kehangatan. Tiba-tiba saja wajah Arumi memerah, tubuhnya
yang dingin mulai hangat. Nadinya kembali berdenyut, kelopak matanya perlahan
mulai terbuka, menangkap remang cahaya fajar yang menguning.
“Aku dimana?”
suara gadis itu lirih
Mahesa
terperanjat, kaget. “Arumi, kamu..?”
“Aku mau
pulang…” pinta sang kekasih
“Ya, kita akan
segera pulang”
Mereka berdua
tergopoh menuju kendaraannya yang masih berada ditempat yang sama. Matanya
terus memandangi langit yang mulai terang, seakan tak percaya dengan kejadian
yang baru saja menimpanya. Berharap kejadian malam itu hanyalah sebuah mimpi.
Derung mesin
mobil mulai terdengar, Arumi masih terlihat lelah, sedangkan Mahesa tengah
beriap dibalik kemudi, hendak meninggalkan tempat misterius itu. Mobil
merekapun mulai berjlan merayap, tak sengaja bola matanya melirik ke arah
spion, sebuah mobil mewah berwarna biru tepat berhenti ditempat yang sama
dimana mereka berhenti dan memarkirkan kendaraannya di sore lalu. Sepasang pria
dan wanita turun dari kendaraan itu, dan mulai masuk ke arena hutan belantara
itu.
“Ada apa? kok
tiba-tiba berhenti?” tanya Arumi
Mahesa terdiam
sejenak, “Ah, ga ada apa-apa kok” balasnya, mengurungkan niatnya untuk sekedar
memperingatkan sepasang kekasih yang baru saja dilihatnya, yang juga terlena
dengan keindahan hutan belantara itu.
Tiba-tiba saja
mobil yang dikendarainya itu benar-benar berhenti. Mahesa tak mampu kendalikan
diri, tubuhnya lunglai, pandangannya buram, jalanan dan pepohonan disekitar
seolah berputar mengelilinginya, dia tampak pusing. Jemari tangannya
menyentuh kening, menahan bola mata yang juga ikut berputar. Seketika saja
ia melihat sepasang pengantin yang saling bertatapan, pengantin lelaki itu
adalah dirinya, lalu dibukanya penutup wajah sang istri, betapa kagetnya ia,
ketika pengantin wanita itu adalah seorang perempuan tua buruk rupa dengan
tatapan nanar padanya.



Comments
Post a Comment